Siapa yang Bertanggung Jawab atas Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) Terlantar di Jalanan?
“Stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan penyakit mental adalah salah satu bentuk ketidakadilan sosial terbesar di zaman kita.” — Dr. Thomas Insel
Tidak dapat dipungkiri, selama ini kita hidup berdampingan bersama Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Keberadaan mereka yang sering ditemui di jalanan merupakan sebuah bentuk keragaman sosial yang tak terhindarkan dalam masyarakat. Namun, kehadiran mereka seringkali menimbulkan kekhawatiran dan bahkan keresahan bagi masyarakat. Tidak jarang ditemukan berita mengenai ODGJ menimbulkan kerugian seperti merusak fasilitas umum atau menimbulkan ketidaknyamanan bagi pengguna jalan.
Ironisnya, alih-alih mendapatkan pertolongan, ODGJ di Indonesia justru sering dikucilkan, diabaikan, dan bahkan disalahpahami. Faktanya, jumlah ODGJ di Indonesia menunjukkan tren peningkatan yang signifikan. Data terbaru dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2023 menunjukkan bahwa terdapat 18,2 juta orang di Indonesia yang mengalami gangguan jiwa. Angka ini menunjukkan bahwa 1 dari 10 orang di Indonesia berpotensi mengalami masalah kesehatan mental. Besarnya jumlah ini menjadikan ODGJ sebagai permasalahan serius yang membutuhkan solusi komprehensif.
Berdasarkan Pedoman Penyelenggaran Kesehatan Jiwa oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2020, Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah istilah yang disematkan pada individu yang mengalami gangguan pada fungsi berpikir, perasaan, dan perilaku. Gangguan ini dapat memengaruhi kemampuan seseorang untuk bekerja, menjalin hubungan, dan beraktivitas sehari-hari. Dalam istilah kedokteran, ODGJ dapat juga disebut Psikotis. Penyebab seseorang menjadi ODGJ sangat beragam dan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2019 menyebutkan dalam Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan Jiwa, setidaknya ODGJ disebabkan oleh kombinasi faktor genetik (riwayat keluarga), faktor biologis (kelainan pada struktur dan fungsi otak), faktor psikologis (pengalaman traumatis dan stres), dan faktor lingkungan (sosial dan ekonomi). Perlu diingat bahwa setiap kasus ODGJ adalah unik dan memiliki penyebab yang beragam sehingga memerlukan penanganan yang berbeda. Lalu, apakah ODGJ dapat disembuhkan?
Dr. E. Fuller Torrey, seorang ahli biologi dan penulis buku tentang skizofrenia, menyatakan bahwa ODGJ bukanlah sebuah pilihan, melainkan penyakit otak yang dapat disembuhkan. Seperti halnya penyakit fisik, gangguan jiwa memerlukan diagnosis dan perawatan yang tepat. Pada tahun 2022, terdapat 63.511 pasien gangguan jiwa yang dirawat di rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, 48.586 pasien (76%) dinyatakan sembuh dan kembali ke masyarakat (Data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia). Pemahaman ini penting untuk menegaskan perlunya akses terhadap layanan kesehatan jiwa yang berkualitas dan merata bagi mereka yang membutuhkan. Pasal 149 Ayat 1 UU No 36 tahun 2009 menyatakan bahwa, penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Dengan pasal tersebut, sudah seharusnya ODGJ dapat diperhatikan dan diberi pelayanan khusus dalam pengobatan dan perawatan yang baik. Oleh karena itu, dibutuhkan intervensi yang tepat untuk mencegah kerugian yang lebih luas bagi individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Akan tetapi, siapakah yang bertanggung jawab atas penanganan ODGJ tersebut?
Dalam Pasal 147 Ayat 1 UU No 36 tahun 2009 disebutkan bahwa, upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa merupakan tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. ODGJ merupakan tanggung jawab semua orang, bukan semata tanggung jawab pemerintah saja. Kita semua memiliki peran untuk membantu ODGJ agar mereka dapat hidup normal dan bahagia di tengah masyarakat. ODGJ merupakan orang-orang yang dilindungi oleh negara (UU No 18 tahun 2014) sebab setiap warga negara berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Lalu, pertanyaan yang muncul di benak adalah bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk menangani ODGJ? Sejauh apa peran masyarakat untuk berperan dalam menangani ODGJ? Bukankah keluarga ODGJ yang seharusnya berperan besar dalam menangani ODGJ? Sebelum mengetahui cara penanganan yang tepat bagi ODGJ, kita perlu mengetahui Upaya Kesehatan Jiwa.
Berdasarkan UU No 18 tahun 2014, Upaya Kesehatan Jiwa adalah setiap kegiatan untuk mewujudkan derajat kesehatan jiwa yang optimal bagi setiap individu, keluarga, dan masyarakat dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. Upaya Kesehatan Jiwa bertujuan untuk menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa. Upaya promotif bertujuan meningkatkan penerimaan dan peran serta masyarakat terhadap kesehatan jiwa dan menghilangkan stigma, diskriminasi, pelanggaran hak asasi ODGJ sebagai bagian dari masyarakat. Kemudian, upaya preventif bertujuan mencegah timbulnya dan/atau kambuhnya gangguan jiwa dan mengurangi faktor risiko akibat gangguan jiwa melalui edukasi dan promosi kesehatan mental. Selanjutnya, Upaya kuratif bertujuan untuk menyembuhkan atau memulihkan ODGJ melalui diagnosis dan pengobatan yang tepat. Terakhir, upaya rehabilitatif bertujuan untuk membantu ODGJ hidup mandiri di masyarakat dengan pelatihan dan dukungan sosial. Dengan memahami upaya kesehatan jiwa, kita dapat lebih siap dalam menangani ODGJ. Lalu, apa bentuk penanganan terbaik untuk ODGJ?
Menurut saya, bentuk penanganan terbaik untuk ODGJ adalah menempatkan mereka ke dalam layanan kesehatan jiwa, Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Sebab, RSJ dapat dipastikan menerapkan dengan baik bentuk upaya kesehatan jiwa (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif) untuk membantu penyembuhan ODGJ. Upaya kesehatan jiwa yang dilakukan di antaranya adalah menciptakan suasana kehidupan yang kondusif untuk kesehatan jiwa (promotif); menyediakan dukungan psikososial dan memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai pencegahan gangguan jiwa (preventif); memberikan pemeriksaan psikiatrik oleh dokter spesialis kedokteran jiwa dan mengadakan rawat jalan dan/atau inap (kuratif); memberikan perawatan dan pengasuhan serta bimbingan mental spiritual dan/atau pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan (rehabilitatif). Namun, kita tak dapat menangkis bahwasanya stigma negatif tentang RSJ masih banyak berkembang di masyarakat. Anggapan bahwa RSJ adalah tempat yang menyeramkan dan memalukan masih kental di sekitar kita. Selain itu, masih terdapat stigma negatif berupa ketakutan untuk dijauhi atau dikucilkan jika diketahui pernah dirawat di RSJ. Meskipun berbagai stigma negatif disematkan kepada RSJ, RSJ tidak kehilangan fungsinya sebagai tempat penyembuhan ODGJ.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2022, terdapat 134 RSJ di Indonesia, yang terdiri dari 80 RSJ pemerintah dan 54 swasta. Jumlah ini dapat dipastikan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan layanan kesehatan jiwa di Indonesia mengingat terdapat 18,2 juta orang di Indonesia yang mengalami gangguan jiwa dengan perbandingan 1 dari 10 orang di Indonesia berpotensi mengalami masalah kesehatan mental. Oleh karena itu, kita semua memiliki peran penting untuk membantu ODGJ. Kita sebagai masyarakat dapat bekerja sama dengan pemerintah dalam menangani ODGJ. Pemerintah dapat berperan melalui penyediaan layanan kesehatan jiwa seperti membangun dan meningkatkan kualitas RSJ, memastikan ketersediaan tenaga kesehatan jiwa yang berkualitas, seperti psikiater, psikolog, dan perawat jiwa, hingga memberikan dukungan sosial serta mempromosikan hidup sehat dan inklusif.
Masyarakat juga memiliki peran yang tidak kalah penting. Langkah awal dapat dimulai dengan mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap ODGJ. Berhenti menggunakan istilah negatif dengan menyebut ODGJ sebagai “orang gila”, “orang stres”, atau “orang tidak bermoral”. Kita dapat memberikan pemahaman mengenai ODGJ kepada masyarakat mulai dari jenis-jenis gangguan jiwa, gejala, dan cara mengatasinya. Kita juga bisa memberikan kesempatan yang sama kepada ODGJ seperti melibatkannya dalam kegiatan masyarakat sebagai bentuk penghormatan dan penerimaan ODGJ di sekitar kita. Selain itu, kita bisa menawarkan bantuan kepada ODGJ untuk memperoleh pengobatan atau bantuan medis. Apabila kita menemukan ODGJ yang terlantar, kita dapat melaporkan kepada pihak terkait seperti puskesmas, kelurahan, atau dinas sosial setempat. Kita dapat menjadi perpanjangan tangan untuk memberikan informasi dan memantau tindak lanjut dari ODGJ terlantar tersebut. Aksi-aksi tersebut merupakan hal sederhana yang sangat berarti dalam membantu ODGJ memperoleh haknya.
Dengan ini, kita sudah mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas ODGJ terlantar di jalanan, yakni kita bersama. Mengurus ODGJ merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat. Mari kita ubah cara pandang kita, mengabaikan dan mengucilkan mereka hanya akan memperburuk kondisi mereka dan membahayakan keselamatan mereka serta orang lain. Mari kita ciptakan masyarakat yang inklusif, di mana setiap orang merasa aman dan dihargai. Bersama-sama, kita memanusiakan manusia sebagaimana kita menjadi warga negara yang baik.
“Kita harus berhenti memperlakukan orang dengan penyakit mental seolah-olah mereka berbeda dari kita. Mereka adalah kita. Mereka adalah keluarga kita. Mereka adalah teman-teman kita. Mereka adalah tetangga kita.” — Rosalynn Carter