Book: The Courage to Be Disliked

Apakah kebahagiaan adalah sesuatu yang Anda pilih? Seorang filsuf terkemuka, Alfred Adler, akan memberikan pemahaman bagaimana masing-masing dari kita mampu menentukan arah hidup, bebas dari belenggu trauma masa lalu, dan beban ekspektasi orang lain.

Anas Ardi
4 min readMay 3, 2023

Buku keempat yang sudah kubaca. Aku membeli buku ini ketika awal-awal mulai membaca buku. Sebelum mulai membaca buku ini, aku berpikir, mungkin isinya akan banyak berisi tentang penerimaan diri. Jadi, saat itu aku “agak” menunda untuk membaca buku ini. Selesai membaca buku ini, memang benar banyak membahas penerimaan diri, tetapi buku ini lebih dari sekadar itu. Banyak sekali pengingat dan pesan yang disampaikan di dalamnya.

Buku ini berisi 323 halaman. Ukurannya lebih kecil daripada buku yang aku miliki. Waktu pertama kali aku membaca buku ini, lem bukunya cukup kuat sehingga butuh sedikit tenaga untuk menekan saat membacanya. Jika tidak, maka bukunya akan menutup kembali. Kertasnya berwarna warm yellow atau kuning hangat. Tulisan dalam bukunya cukup padat dan ditemukan pada beberapa lembar berisi full tulisan tanpa jeda paragraf. Cover-nya terlihat eksklusif dengan menggunakan dua warna saja sebagai tulisannya.

Imajinasiku ketika membaca buku ini. Pemuda dan filsuf duduk bercengkrama di teras rumah.

Secara singkat, buku ini menceritakan obrolan seorang pemuda dan seorang filsuf untuk berdiskusi mengenai makna kehidupan. Setelah membaca pendahuluan. Aku yakin, buku ini adalah buku yang bagus. Bagian pendahuluan ini dimulai dengan kisah seorang pemuda yang mendatangi seorang filsuf untuk meminta pendapatnya dengan memberikan pertanyaan:

“Mengapa dunia ini tidak sederhana?”

Filsuf menjawabnya dengan sangat bagus oleh perumpamaannya. Aku suka sekali ketika perumpamaan air sumur 18°c yang dijadikan contoh untuk menjawab pertanyaan pemuda. Pada buku ini tidak dijelaskan sama sekali, siapa nama pemuda dan filsuf yang ada di buku ini sehingga di sepanjang isi buku ini hanya diceritakan sebagai pemuda yang berdialog panjang dengan seorang filsuf tua di rumahnya.

Buku ini memiliki 5 bab, masing-masing bab memiliki judul “Malam Pertama”, “Malam Kedua”, dan hingga seterusnya. Buku ini menggunakan sudut pandang percakapan seorang pemuda dan filsuf, seperti bertanya-menjawab-menjelaskan-bertanya kembali. Di dalam babnya, terdapat sub-babnya lagi dengan judul-judul yang diambil dari inti pembicaraannya. Di beberapa akhir sub-bab, ada sebuah kalimat yang ditebalkan oleh penulis untuk menggambar isi hati dan pemikiran pemuda ketika selesai berbincang dengan filsuf.

Pada malam pertama, di sub-bab pertama membahas mengenai 3 tokoh penting dalam ilmu psikologi yaitu Freud, Jung, dan Adler. Aku tidak bohong, aku jadi ingin sekali belajar tentang dasar-dasar psikologi karena mungkin akan sangat terpakai penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Di sub-bab selanjutnya, dijelaskan mengapa manusia bisa berubah melalui pendekatan psikoanalisis berdasarkan Teori Adler; Teleologi dan Aetiologi. Penggunaan bahasanya tidak ribet dan tidak terlalu ilmiah sehingga aku sebagai orang awam bisa langsung memahami maksudnya.

Mulai malam-malam selanjutnya, banyak sekali perumpamaan yang dipakai untuk menjelaskan kepada pemuda yang diberikan oleh filsuf. Lagi-lagi aku kembali jatuh cinta dengan perumpamaan yang diberikan oleh filsuf,

“Bola batu yang jatuh pada lereng bukit, tidak punya kuasa untuk kembali ke puncak akibat mengikuti keinginan gravitasi dan inersia.”

Semakin lama bola batu itu semakin aus, hancur, dan tidak terbentuk akibat gesekan yang dikenai. Ini merupakan perumpamaan bagi orang yang selalu ingin memenuhi keinginan orang lain sehingga kehilangan jati dirinya. Kemudian, ada perumpamaan yang tidak kalah menarik mengenai intervensi. Asli deh, aku sampai berkata dalam hati “Wah ini filsuf bisa saja membuat perumpamaan”. Perumpamaannya adalah seperti ini,

“Bisa saja kamu berupaya membawa kudamu ke sungai untuk mengantarmu minum, tetapi kudamu ikut minum atau tidak itu bukan tugasmu.”

Jadi, hal yang dikatakan filsuf ini menyatakan, “Kita boleh saja mempengaruhi atau membujuk seseorang untuk sesuatu, tetapi jangan memaksa karena itu sudah menyalahi hubungan interpersonal”. Jika kamu mau tahu apa hubungan interpersonal yang dimaksud, silakan membaca buku ini.

Buku ini juga menyinggung banyak tentang self-love. Seperti, mengapa kita selalu ingin menjadi orang lain? Mengapa kita tidak menjadi diri sendiri saja? Tetapi, dengan versi terbaik. Kita selalu ingin untuk menjadi orang lain karena selalu melihat sisi hebat dan baiknya saja. Kata-kata yang selalu diucapkan oleh buku ini adalah,

“Bahagia itu pilihan, bahagia itu kita yang buat sendiri.”

“Jangan berlarut-larut pada kesedihan di masa lalu.”

“Tidak ada salahnya berubah, berubah adalah kata lain dari mencoba. Kamu tidak akan pernah tahu kalau tidak pernah berubah.”

Aku banyak meng-highlight banyak kata-kata dari filsuf, bahkan dari pemuda juga. Semua disampaikan dengan baik dan mudah dipahami. Namun, ada beberapa isi yang kurang dapat aku terima untuk diterapkan di kehidupan sehari-hari terutama di sub-bab yang membahas intervensi dan egosentris. Aku yakin kalau kamu sudah membaca pada bagian tersebut, pasti paham bagian mana yang aku maksud.

Teori Psikologi Adler ini sebenarnya banyak sekali manfaatnya, tetapi ada beberapa isinya yang tidak bisa aku amalkan. Ada bagian yang harus dipilah mana yang harus diambil dan mana yang hanya perlu dijadikan pengetahuan saja. Hal ini tentu wajar sekali karena perbedaan pendapat itu tanda kita berpikir untuk menyeleksi apa yang tepat untuk kita.

Setelah aku banyak membahas bagusnya buku ini, mungkin, ada beberapa kesalahan yang mengganggu bagi aku, walaupun tidak berpengaruh dalam makna, tetapi aku kurang suka dengan penggunaan kata hubung di tiap antarkalimat. Di banyak kalimat, banyak sekali penggunaan kata “tapi” di awal kalimat. Kemudian, terdapat juga penggalan koma yang membuat beberapa kalimat harus dibaca berulang kali untuk menemukan intonasi yang tepat untuk membacanya.

Buku The Courage to Be Disliked atau dalam bahasa Indonesianya Berani Tidak Disukai ini cocok sekali untuk dibaca ketika memiliki banyak waktu luang. Aku tidak merekomendasikan untuk membaca buku ini di sela-sela waktu senggang. Sebab, menurutku buku ini perlu waktu untuk memahami makna dan maksud sebenarnya sebelum lanjut ke bagian selanjutnya. Buku ini akan aku sarankan bagi teman-teman yang mau lebih mengenal teori psikologi, lebih terbuka terhadap pendapat, dan penerimaan diri. Jadi, buku ini tetap layak masuk list baca kalian.

--

--

Anas Ardi
Anas Ardi

No responses yet